Untuk bagian pertama.
Untuk bagian kedua.
----------
Sekitar kurang lebih 3 hari gue dan Dito merasakan kejamnya Ospek. Badan gue dan Dito serasa abis di pijit, sama Big Show. Kabar buruknya gue akan tiap hari bertemu senior-senior songong,
kabar baiknya gue juga akan bertemu senior-senior
cantik, mungkin single. Gue dan Dito mempersiapkan diri untuk hari pertama masuk.
“Dito, gue cocoknya pakai baju apa yah hari
pertama?” kata gue sambil mengobrak-abrik baju di dalam lemari.
“Yah terserah lo deh.” Kata Dito.
“Ini cocok?” kata gue sambil memperlihatkan baju
yang leher segitiga.
“Lo jadi kelihatan homo pakai gituan.” Kata
Dito,”Gini yah, lo emang mau pake baju yang kayak gimana?” tanya Dito.
“Yang keren lah, kan ini hari pertama yah harus
memberikan kesan yang keren lah” kata gue, mantap.
“Lo pake..” kata Dito sambil memilihkan baju,”Ini!”
kata Dito sambil memperlihatkan baju kaos polos dengan kantong di tete kiri.
“Hah? Yang ini?” kata gue heran.
“Cowok yang keren itu yang biasa aja.” Kata Dito.
“O..ke” kata gue sambil masih terlihat bingung.
Gue
memakai baju itu dengan di pasangkan celana seribu umat: Jeans. Terlihat sangat
biasa untuk gue yang ingin terlihat keren. Tapi, ngga apa-apa lah.
Malam sebelum hari pertama kuliah, gue sibuk nyari
FB-nya si Indah, senior gue. Lama mencari, dan akhirnya gue dapet juga. Foto
profilnya, terlihat dia lagi selfie sama temannya. Tapi kok ada yang aneh.
Aslinya Indah terlihat “Wih!”, tapi kok fotonya biasa aja. Bodo, ah!
Gue tidur sembari masih mengingat wajah dan namanya:
Indah. Entah kenapa, hendak tidur dengan memikirkan seorang yang spesial malah
memperhambat mata ini untuk tertutup. Bantal udah gue bolak-balik biar dingin
dengan harapan bisa langsung tidur, namun hasilnya sama saja, nihil. Gue keluar
sebentar untuk mencari udara segar, gue ngga mau membangungkan Dito. Gue
biarkan dia tidur, kasihan kalau di bangunin lagi.
Di luar hanya ada gue yang sedang memperhatikan
bintang-bintang. Apa ada yang sebuah harapa yang terwujud dari jatuhnya sebuah
bintang? Kalau ada, ku mohon jatuhlah bintang, satu saja.
Di tengah-tengah melihat bintang-bintang ini, gue
ingat akan rumah, ingat akan Makassar, keluarga, terutama dengan usilnya si
Madara.
Gue melihat bintang-bintang itu seakan-akan
menertawai ekspektasi besar gue untuk dekat dengan Indah. Setelah hampir setengah
jam, gue kembali ke kamar untuk melaksanakan tugas yang sempat tertunda, tidur.
--o0o—
Hari itu adalah hari yang gue tunggu. Gue bangun dan
mengambil handuk untuk segera lekas ke kamar mandi. Dito ternyata baru-baru aja
mandi.
“Eh, tumben cepat” kata gue.
“Iya dong,
kalau telat kan ngga bisa dapat informasi hangat hari pertama” kata
Dito.
Gue langsung ngibrit ke kamar mandi sambil
berteriak,”Dit, tunggu gue yah!” kata gue.
5 menit adalah waktu yang gue pakai untuk mandi.
Dengan metode 3 in 1, atau 4 in 1, mandi bisa jadi lebih cepat dari biasanya.
“To, berangkat yuk” kata gue.
“Yuk..” kata Dito.
Gue memasuki tempat di mana gue akan memulai dunia
baru: kuliah. Pertama masuk gue dan Dito berjalan bersama. Menyaksikan beberapa
orang yang lagi sibuk. Sibuk diskusi, sibuk main hape, sibuk makan, ragamlah.
Mata gue liar mencari sosok perempuan yang tadi ma;am membuat gue susah tidur.
“Si Indah mana yah, Dit?” tanya gue ke Dito.
"Yah, sama pacarnya lah” kata Dito.
“Oh,.” kata gue,”Tunggu.. pacar?” tanya gue heran ke
Dito.
“Iya” kata Dito santai.
“Setahu gue si Indah belum punya pacar” kata gue
kesal ke Dito.
“Setahu gue si Indah udah punya pacar” kata Dito
santai, seolah mencoba menaikkan emosi gue.
“Oke, gue tantang log yah, Dit” kata gue ke Dito.
“Tantang apaan?” tanya Dito.
“Kita taruhan siapa yang menang harus bayarin makan
seminggu” tantang gue ke Dito.
“Oke” kata Dito santai.
Pagi yang seharusnya gue bisa ceria, senang,
bahagia, malah dihapus oleh celotehan di Dito. Sebenarnya, gue takut kalau si
Indah emang punya pacar. Gue bisa kehilangan gebetan, juga kehilangan uang,
buat bayarin Dito makan sebulan. Kampret!
“Gue ngga maksa loh buat taruhan yah, Lo” kata Dito
yang mungkin melihat gerak-gerik takut gue.
“Lah?” kata gue.
“Kalau emang lo takut ya udah taruhan ini kita
batalin.” Kata Dito.
“Sesederhana itu?” tanya gue.
“Terus kita cari tahu bareng-bareng” kata Dito.
Dengan girangnya gue sampai meluk Dito,”Lo emang
sahabat terbaik gue, Dit”
“Woi, orang-orang ngeliat kita bego” kata Dito
sambil mendorong kepala gue.
Gue berhenti memeluk Dito sambil memperhatikan
sekitar,”Maaf, Dit” kata gue.
--o0o--
Pulangnya kami dari kampus kira-kira sudah sore,
menjelang maghrib. Gue dan Dito belum sama sekali ada pikiran untuk pulang.
Akhirnya, kami berencana untuk menjadi agen detektif untuk mengintai Indah.
“Dit, langsung kerumahnya aja?” tanya gue.
“Yaiyalah, coba buka FB-nya” kata Dito.
“Untuk?” tanya gue.
“Buka aja dulu” perintah Dito.
“Lo yakin ini FB aslinya Indah?” tanya Dito sambil
memeriksa.
“Yakin” kata gue.
“Kalo emang beneran ini FB asli dia, berarti jalan
rumahnya ada di jalan ini!” kata Dito sambil menunjukkan hape gue.
“Keren lo Dit” kata gue.
“Yuk” kata Dito.
“Kemana?” tanya gue.
“Ke rumah Indah lah.” Kata Dito.
Dengan
kesepakatan, gue dan Dito mengikuti jalan yang ada di hape gue. Saat ini, gue
dan Dito lagi menunggu angkot. Berdiri berdua di trotoar sambil melihat
kanan-kiri.
Satu angkot berhenti, gue dan Dito bertanya ke supir
angkotnya,
“Pak, bisa bawa kita ke jalan ini?” tanya gue.
“Ngga bisa dek, beda jalur.” kata supir.
“Oh, oke, makasih” kata Dito.
Salah jalur? Terus dari sini ke rumah Indah kita
naik apa. Gue ngga pernah liat Indah pulang, jadi, gue ngga tau dia pulangnya
ke arah mana.
“Lo, naik bajaj mau?” tanya Dito.
“Ah, gue pernah nonton di tipi, yang abis naik bajaj pasti langsung budek” kata gue.
“Sekali-kali lah, gue juga belum pernah nyobain”
kata Dito.
“Ah, malas!” kata Dito.
“Lo serius ngga sih buat Indah?” tanya Dito.
“Serius lah” kata gue.
“Terus?” tanya Dito.
“Terus? Apaan?” tanya gue.
“Yuk, berkorban untuk Indah” kata Dito.
“Oke deh” kata gue pasrah.
Dito langsung mencari dan menunggu bajaj lewat.
Setelah beberapa saat menunggu, terdengar suara berisik dari kejauhan. Suara
itu mulai mendekat, dan sesuai dugaan gue, itu bajaj. Bajaj itu berhenti, Dito
langsung bertanya,
“Pak, bisa bawa kita ke jalan ini?” tanya Dito.
“ Bisa dek” kata supir bajaj-nya,”Yuk naik” katanya.
Gue dan Dito menaiki bajaj untuk yang pertama kalinya.
Untuk ini, gue lupa untuk membuat surat pernyataan kalau terjadi apa-apa supir
bajajnya yang akan nanggung.
Bajaj mulai berjalan. Awal-awal masih biasa saja,
pas udah beberapa meter supirnya ngebut. Kalian tau rasanya? lo udah kayak ada di wilayah gempa hebat. Getarannya itu loh.
Saat nyampe, gue dan Dito melihat dengan seksama rumahnya, alamatnya, dan jalannya, lalu mencocokkan dengan di FB. Terlihat dari luar, rumahnya seram, tidak seperti tempat tinggal seorang bidadari cantik seperti Indah.
"Dit, kayaknya ini buku rumah Indah, deh" kata gue, cemas.
"Ngomong apaan sih lo, ini kan udah jelas-jelas mirip dengan info dari FB-nya Indah." kata Dito.
"Lo pikir deh, perempuan macam apa yang mau tinggal di tempat seperti ini" jelas gue.
"Coba kita cek ke atas" kata Dito.
"Jangan Dit,.." kata gue sembari mengingatkan.
"Siapa tau Indahnya ada di atas" kata Dito.
Mau tidak mau gue harus menuruti perkataan Dito. Kami harus mengecek lantai 2. Tempat pada umumnya kamar cewek berada. Kami melangkah dengan masih sedikit ragu. Setelah sampai di depan pintu kamar, gue dan Dito langsung tatap-tatapan.
"Lo, buka" perintah Dito.
"Lo aja Dit, gue takut nih" kata gue.
"Yang mau tau soal Indah kan elo" ngeles Dito.
Akhirnya, gue mencoba memberanikan diri membuka. Gue pegang gagang pintunya, gue menelan ludah. Gue putar gagang pintunya, gue natap si Dito. Gue dorong pintunya, kami lari terbirit-birit saat segerombolan kelelawar dan tikus keluar dari ruangan yang gue buka.
Kami lari sambil teriak sampai di luar. Beberapa warga yang ada di dekat situ menghampiri kami.
"Kalian kenapa dek?" tanya seorang warga.
"I..ini rumah siapa, om?" tanya Dito, ngos-ngosan.
"Rumah ini sudah lama kosong. Ngga ada yang tinggal" kata warga,"Katanya sih Angker" lanjutnya.
Gue menelan ludah,"Jadi, ini bukan rumah Indah?" tanya gue.
"Indah itu siapa yah, dek?" tanya warga.
"Oh, ngga om, teman saya ini kalo ketakutan emang gini." kata Dito.
"Oh" kata warga.
"Kami permisi dulu, om" kata Dito.
--o0o--
Pas nyampe kosan, gue kesal sama si Dito atas ke-sok-tahuan-nya. Gara-gara Dito, kami masuk ke rumah yang seharusnya ngga kami masuki.
'"Gue bilang juga apa" kata gue kesal.
"Lah, maaf" kata Dito,"Di FB kan jalannya emang bener" kata Dito.
"Lain kali kita cari lagi yah, jangan marah, Lo" kata Dito membujuk.
"Malas!" kata gue, tak acuh.
"Gue teraktir bakso malam ini" kata Dito.
"Dua mangkok" kata gue.
"Ayuk" kata Dito.
Bersambung..
Nice
ReplyDeletewah jangan si indah itu? jangan2
ReplyDelete.
kalo gw jadi dito
gw terusin tuh taroannya
hahaha
.
gimana perasaannya pas pertama kali naik bajaj? seru y?
Jangan2 apa?
DeleteHaha, sayangnya Dito ngga. :p
Ngga tau, kan Ilo dan Dito yang ngerasain~
Ini macem FTV atau gimana, Rul? Nggak takut dikecam FPI bikin post bersambung kayak sinetron? Hahahah, bercanda.
ReplyDeletelanjut terus!
Bukan, Rob. Cuman cerita biasa untuk meningkatkan kemampuan menulis. :D
DeleteSip dah!
Ceritanya bagus, unsur adventure dan komedinya dapat, jadi bingung ceritanya mau dilanjutkan seperti apa nanti, he..he...
ReplyDeleteOh iya, boleh kasih masukan, sepertinya ada typo sedikit...
Tunggu cerita selanjutnya di blog saya, tapi kalau lama update nya harap maklum yah...
Makasih!
DeleteMasukan di terima dengan baik.:)
Pastinya~
Ewh ini episode tiganya! Mantap.
ReplyDeleteKukira ini akan menjadi episode terakhir, ternyata masih ada lagi toh.
Bolehlah ditunggu yang selanjutnya ini.
Ohiya bener tuh,
Saya juga menemukan beberapa typo sedikit. Juga ada kejanggalan seperti yang awalnya 'seminggu' jadi 'sebulan'
Selebihnya, keren!
Iya, baru 3 bagian.
DeleteNgga dong, cerita Ilo dan Dito masih akan berlanjut sampai ia mendapatkan apa yang dia butuhkan.
Pasti!
Masukan di terima dengan baik. :)
tadinya gue ngira kalau si dito juga suka sama indah.
ReplyDeletemasukan gue masih sama, justify doang :D